Lagi-lagi Harus Marah, Wajarkah?

Sekali lagi, di kelas, akan ada banyak karakter yang ditemukan. Dari yang menyenangkan hingga membuat darah mendidih. Setiap masuk kelas, ada banyak hal yang terjadi. Seperti sebuah misteri, tidak tahu akan terjadi. Inilah mungkin yang dikatakan dinamika mendidik. Padahal, sebagai guru, ada banyak hal yang sudah disiapkan. Namun, ketika masuk kelas, nyatanya harapan tidak sesuai yang diinginkan.

image:pixabay.com

Kamis kemarin, tepatnya tanggal 30/11, kelas VIII B, akan praktik Prakarya yaitu membuat mainan untuk HP. Sebelum praktik, sejak awal rencana praktik ini saya sudah memerintah mereka untuk menyiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan. Untuk alat bahan yang sedikit sulit seperti kain planel, lim tembak, dan beberapa lainnya saya yang menyiapkan. Bahkan, saya rela ke kota untuk membelikan mereka. Sebab, di daerah saya yang pinggir kecamatan sulit menemukan alat dan bahan untuk praktik kali ini. Dan saat hari H, apa yang terjadi?

Ini untuk kesekian kali saya merasa kecewa dengan kelas ini. Di awal pembelajaran, terkait tugas dan lain-lainnya, mereka begitu lalai. Saat itu, mungkin bisa saja saya maklumi. Saya berpikir mungkin saat SD mereka masih bisa diatasi. Dasar sebab itu saya membiarkan mereka, namun dengan sedikit petuah-petuah ala guru. Berikutnya, justeru saya merasa kecewa kembali. Lagi-lagi, mereka tidak peduli dengan apa yang saya sampaikan. Haruskah saya marah? Tentu saya marah. Sebab, sabar itu ada batasnya. Yang saya pikirkan, kenapa mereka begitu aneh? Apa memang mereka tidak ingin bisa?

Dan, akhirnya, saya kembali marah ketika saya menyuruh mereka terkait untuk membuat mainan HP. Saya hanya menyuruh mereka membawa kapuk dan gunting. Tepatnya, masing-masing membawa kapuk dan gunting. Namun nyatanya, di kelas, hanya beberapa yang membawa. Dan siapa yang tidak membawa yang saya suruh? Mereka adalah siswa-siswa yang memang kerap saya nasihati. Sungguh, saya ingin memporak-porandakan mereka. Namun alhamdulillah, saya bisa menahan diri. Saya abaikan mereka. Saya hanya peduli dengan yang membawa. Salahkah saya?

Entah, apa yang saya perbuat terkait mereka yang tidak mendengar apa yang saya perintahkah. Apa perintah saya terlalu berat? Bila saya bertolak ke belakang, di mana dulu saya sekolah, apalagi seusia SMP, saya masih takut bila tidak membawa sesuatu yang diperintahkah oleh guru. Sebab, saya tahu, setiap ucapan yang dilontarkan guru, apalagi terkait membawa sesuatu, saya beranggapan bahwa guru akan memberikan saya sebuah ilmu pengetahuan baru. Maka dengan pikiran itu, saya jarang sekali tidak membawa yang disuruh oleh guru. Dan benar, saat membawa yang disuruh, ada banyak ilmu pengetahuan baru yang dibagikan oleh guru. Dan siswa-siswa sekarang?

Saat praktik sudah mulai, karena ini ada kaitannya dengan tehnik menjahit aplikasi dengan model tehnik feston, akhirnya satu-satu ajarkan bagaimana caranya menjahit. Tanpa saya sadari, ternyata siswa-siswa yang tidak membawa yang saya suruh itu hilang di kelas. Tidak ada sapaan atau ijin pun yang mereka lontarkan ke saya. Bingung? Tentu saya bingung. Sebab, siswa-siswa di sini kalau ada hal yang mereka tidak bawa, mereka suka pulang ke rumahnya. Padahal, saya selau melarang. Jarak rumah mereka dengan sekolah kurang lebih 2KM. Apalagi mereka menggunkan sepeda motor. Jika terjadi apa-apa, siapa yang disalahkan? Tentu guru.

Berapa menit kemudian, siswa-siswa yang hilang tadi itu kembali. Mereka kembali dengan membawa alat dan bahan yang saya suruh. Pasti mereka pulang. Saya mau menegur mereka. Tapi, ah, biarkan saja. Syukur saja mereka datang dengan selamat. Ini memang kerap terjadi. Saya sering marah juga gara-gara mereka pulang tanpa ijin, apalagi menggunakan sepeda motor. Tapi untuk kali ini, susah sekali untuk marahnya. Mungkin di mulut tidak bisa, tapi jujur di hati sangat membara. Sebab, mereka masih tidak mendengar nasihat dari saya. Tidak sayangkah mereka dengan nyawa sendiri?

Ada hal yang memang saya pikir tidak apa-apa mereka pulang. Itu terkait dengan yang memang penting-penting. Tapi itu berdasarkan ijin dari guru. Saya beranggapan bila ada guru yang mengijinkan siswanya, berarti itu merupakan lampu hijau ketika mereka berjalan, lurus tanpa hambatan apa pun. Beda sekali jika tidak ada ijin, saya sudah membayangkan hal-hal buruk akan terjadi. Kita tidak pernah tahu kapan nyawa kita akan berakhir. Terlalu burukkah pikiran saya?

Marah. Ya, ada banyak hal yang seharusnya saya marahi. Tapi... lagi-lagi itu tidak bisa dilampiaskan secara mudah. Sebab, kata marah itu identik dengan hal-hal yang buruk. Maka beralih ke hal menasihati. Tapi nyatanya, itu tidak berhasil juga. Lalu, apa yang saya lakukan? Marah lagi dengan kata-kata yang menusuk hati? Oh, tidak! Ini bukan saya.

Sekali lagi, saya memang akan marah. Benar-benar marah. Apalagi melihat bagaimana siswa-siswa tidak peduli dengan perintah saya. Ini saya sedang mengajarkan mereka tentang kerajinan. Ini supaya mereka bisa. Tapi nyatanya? Mungkin ini yang namanya anak jaman sekarang. Susah sekali untuk mengingatkannya akan hal-hal baik.

Baiklah, saya rasa cukup untuk cerita kali ini. Cerita ini sudah berlalu. Dan alhamdulillah, tidak terjadi apa-apa. Yang ada, hanya beberapa siswa yang sudah mengumpulkan hasil karya mereka. Bersyukurnya masih ada siswa yang peduli dengan hal ini. Saya rasa, itu sudah cukup untuk mengobati rasa marah yang sedikit tidak tercurahkan.

8 komentar:

  1. Marah saja pak, marah sewajarnya dan jangan pakai kekerasan hehe
    Generasi sekarang memang begitu, semakin berat saja tugas bapak/ibu guru.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mas. harus tetap semangat untuk mendidik.

      Hapus
  2. Marah itu wajar, kita sebagai manusia
    apa lagi kepada anak murid kalo di rasa sudah terlalu kelwatan
    toh mereka sudah di serahkan oleh orang tuanya

    semangat terus ngajar pak guru semoga mampu mencetak generasi penerus bangsa yang jujur

    BalasHapus
    Balasan
    1. semangat. akan tetap semangat demi mendidik generasi lebih baik.

      Hapus
  3. Tindakan apa yang mesti dilakukan oleh guru didik bila anak didik bandel dan mulai
    belajar pacaran ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi...ini levelnya beda. Susah dinasehat kalau udah mengenal beginian. *maaf, telat respon.

      Hapus

Berkomentar yang baik, ya. Cerita juga boleh di sini.

Diberdayakan oleh Blogger.